Hadis Nabi Larang Wali Atur Mahar, Ini Alasannya

Ilustrasi seorang pria memberikan mahar ke pengantin perempuan yang disaksikan oleh wali perempuan dan keluarga. dok. Chat GPT AI

Islam menegaskan mahar adalah hak penuh perempuan, bukan hak wali. Yuk pahami alasan Nabi melarang wali menentukan mahar!

Setiap kali mendengar kata akad nikah, pasti yang langsung terbayang adalah momen haru ketika mempelai pria mengucapkan ijab kabul di hadapan wali dan saksi. Tapi, ada satu hal penting yang kadang luput diperhatikan: mahar. Yap, benda atau nilai yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri ini bukan sekadar simbol, tapi juga punya makna hukum dan spiritual yang dalam banget.

Masalahnya, masih banyak yang salah paham soal siapa yang berhak atas mahar. Nggak jarang, ada wali yang ikut menentukan jumlah mahar bahkan tanpa melibatkan si calon pengantin perempuan. Padahal, kalau kita ngulik lebih dalam, ternyata Rasulullah ﷺ dengan tegas melarang praktik semacam itu.

Larangan ini muncul dalam konteks hadis tentang nikah syighar, yaitu praktik pernikahan di masa Jahiliah di mana wali menikahkan perempuan yang di bawah perwaliannya tanpa mahar, dengan imbalan wali lain juga menikahkan perempuan lain untuknya. Yuk, kita bahas lebih dalam kenapa Rasulullah sampai melarang hal itu, dan apa pesan besar yang bisa kita ambil tentang pentingnya menghargai hak perempuan dalam pernikahan.

Latar Belakang Larangan Nabi: Praktik Nikah Syighar di Masa Jahiliah

Sebelum Islam datang, masyarakat Arab punya banyak tradisi pernikahan yang jauh dari nilai keadilan. Salah satunya adalah nikah syighar. Dalam praktik ini, dua wali sepakat untuk saling menikahkan anak atau saudara perempuannya tanpa memberi mahar sama sekali. Ibarat barter, satu menikahkan putrinya asal yang lain juga mau menikahkan anaknya.

Rasulullah ﷺ dengan tegas melarang praktik ini dalam hadis sahih riwayat Muslim:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللّٰهِ ﷺ نَهَى عَنِ الشِّغَارِ

وَالشِّغَارُ أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ ابْنَتَهُ، وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ

Artinya: “Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah ﷺ melarang nikah syighar. Syighar ialah seorang laki-laki menikahkan putrinya kepada laki-laki lain dengan syarat laki-laki itu menikahkan putrinya (kepadanya), dan keduanya tidak memberikan mahar.” (HR. Muslim)

Menurut Dr. Musa Syahin Lasyin, ulama hadits dari Universitas al-Azhar Kairo dalam kitabnya Fathul Mun‘im Syarh Shahih Muslim, praktik ini dilarang karena menzalimi perempuan. Pada masa Jahiliah, wali sering menganggap bahwa mahar adalah hak mereka, bukan hak perempuan yang dinikahkan.

Islam datang untuk meluruskan pandangan itu. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa mahar adalah hak mutlak milik perempuan, bukan hak wali. Sejak saat itu, setiap pernikahan harus disertai mahar yang diberikan langsung kepada pihak perempuan sebagai bentuk penghormatan dan bukti kesungguhan dari calon suami.

Peran Wali dalam Pernikahan: Pelindung, Bukan Pengambil Keputusan Sepihak

Wali dalam pernikahan punya posisi yang sangat penting. Tanpa wali, akad nikah dianggap tidak sah menurut syariat Islam. Tapi penting untuk diingat, posisi wali bukan berarti punya kuasa penuh atas segala keputusan dalam pernikahan, terutama soal mahar.

Fungsi utama wali adalah melindungi, membimbing, dan memastikan bahwa perempuan yang berada di bawah perwaliannya mendapatkan pasangan yang baik dan bertanggung jawab. Namun, kalau wali ikut menentukan nilai mahar tanpa melibatkan si perempuan, itu sudah melampaui batas wewenangnya.

Islam mengajarkan bahwa segala sesuatu dalam pernikahan, termasuk mahar, harus dilakukan atas dasar keridaan kedua belah pihak. Kalau wali memaksakan jumlah tertentu atau bahkan mengambil mahar untuk dirinya sendiri, maka itu bertentangan dengan prinsip keadilan yang dibawa Islam.

Rasulullah ﷺ juga mengajarkan kesederhanaan dalam mahar. Dalam banyak kisah, beliau menikahkan sahabat dan keluarganya dengan mahar yang sangat sederhana, bahkan ada yang hanya berupa hafalan Al-Qur’an. Jadi, bukan nominalnya yang penting, tapi niat tulus dan kesungguhan calon suami untuk membahagiakan istrinya.

Wali boleh memberikan masukan atau pertimbangan agar mahar sesuai dengan kemampuan mempelai pria dan wajar secara sosial. Tapi, keputusan akhir tetap harus berada di tangan perempuan yang akan menikah. Sebab, dialah yang menjadi penerima mahar dan pemilik hak penuh atasnya.

Hikmah Larangan Nabi: Menjaga Martabat dan Hak Perempuan

Larangan Nabi terhadap wali yang mengatur atau mengambil mahar bukan hanya soal aturan hukum semata. Ada nilai moral dan sosial yang besar di baliknya. Islam ingin menegakkan keadilan dan penghormatan terhadap perempuan.

Dengan menegaskan bahwa mahar adalah hak perempuan, Islam menghapus pandangan bahwa perempuan hanya objek dalam pernikahan. Sebaliknya, perempuan adalah subjek yang punya hak, kehormatan, dan posisi yang setara di hadapan hukum Allah.

Mahar juga menjadi simbol kasih sayang dan tanggung jawab dari suami. Dengan memberikan mahar, suami menunjukkan komitmennya untuk menghormati istrinya, bukan sekadar “memiliki” atau mengikat. Ini adalah bentuk penghargaan yang memperkuat makna spiritual dari pernikahan itu sendiri.

Sayangnya, di zaman sekarang, kesalahpahaman soal mahar masih sering muncul. Ada keluarga yang menuntut mahar tinggi demi gengsi, atau wali yang ikut campur tanpa memperhatikan keridaan calon pengantin perempuan. Padahal, Islam justru mengajarkan bahwa pernikahan yang paling berkah adalah yang paling mudah maharnya.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah maharnya.” (HR. Ahmad dan Hakim). Hadis ini jadi pengingat agar kita tidak menjadikan mahar sebagai beban atau alat ukur gengsi, tapi sebagai bentuk penghormatan dan ketulusan.

Jadi, mulai sekarang, yuk ubah cara pandang kita soal mahar! Jangan lagi menganggap wali punya hak menentukan atau mengambil mahar, karena itu jelas bertentangan dengan ajaran Nabi. Mahar adalah hak perempuan, simbol penghormatan dan cinta, bukan alat tawar-menawar atau gengsi keluarga.

Kalau kamu sedang mempersiapkan pernikahan, pahami dulu nilai-nilai ini dengan baik. Ajak wali dan calon pasangan untuk berdialog terbuka soal mahar—biar semuanya berjalan dengan ridha, cinta, dan keberkahan. Ingat, pernikahan yang diridai Allah bukan tentang mahalnya mahar, tapi tentang ketulusan dan niat ibadah di dalamnya. Yuk, jaga niat suci pernikahan agar tetap dalam cahaya sunnah Nabi ﷺ.***

Baca Juga

No comments

Theme images by Leontura. Powered by Blogger.